Home » » MENYAMBUT RAMADHAN SEBAGAI BULAN PERUBAHAN

MENYAMBUT RAMADHAN SEBAGAI BULAN PERUBAHAN



Terasa masih segar perpisahan kita dengan Ramadhan tahun lalu. Sekarang Ramadhan kembali di depan mata kita. Demikianlah karakter waktu, akan terasa singkat manakala telah dilalui dan sering terasa panjang manakala dijalani dengan beban di hati.
Kehidupan adalah rangkaian dan mata rantai perjalanan waktu: waktu masa lalu, sekarang dan masa depan. Masa lampau adalah rekaman peristiwa yang menjadi file dan arsif kehidupan untuk dijadikan dokumen dan ibrah-pelajaran dalam menjalani kehidupan sekarang. Sedang masa depan masih merupakan angan-angan yang harus direncanakan dengan matang dari saat sekarang. Karena apa yang kita jalani saat ini adalah kelanjutan masa lampau dan persiapan masa datang, maka itu Islam mengajarkan mengambil pelajaran dari masa lampau untuk menjalani masa sekarang dan persiapan masa yang akan datang. Sebagaimana pesan Al-Qur'an
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (Al Hasyr : 18)

Allah telah menjadikan peristiwa-peristiwa penting pada waktu-waktu tertentu dan tempat-tempat tertentu untuk diambil peringatan, pelajaran dan teladan bagi manusia yang datang kemudian. Sebagaimana Allah telah jadikan waktu dan tempat tertentu mempunyai keistimewaan dan kekhususan dari waktu atau tempat lainnya karena peristiwa yang penting terjadinya padanya. Demikianlah Allah telah jadikan Ramadhan mempunyai keistimewaan yang mendalam bagi kehidupan manusia dan khususnya bagi kum musilimin. Karena pada bulan itu Allah jadikan peristiwa turunnya Al-Qur'an dan diutusnya آabi Muhammad sebagai Rasul terkahir untuk umat manusia. Maka alangkah layaknya jika kemudian Allah menetapkannya sebagai bulan untuk pelaksanaan ibadah yang agung, yaitu shaum Ramadhan.
Meskipun bulan Ramadhan beredar setiap tahun ia datang dan pergi sesuai ketentuan sunnatullah, namun ada misi dan pesan penting serta universal dari bulan Ramadhan yang terus berlanjut sepanjang tahun dan sepanjang zaman. Di antara pesan mendalam dan universal dari bulan Ramadhan adalah pesan perubahan. Yaitu pesan perubahan yang menjadi konsekwensi diturunkannya Al Quran dan diutusnya Nabi Muhammad. Karena Al-Quran diturunkan dan Nabi Muhammad diutuskan Allah untuk membawa perubahan yang mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia. Yaitu perubahan dari alam kegelapan kekufuran ke alam iman yang terang benderang.

الر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيد
Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (Ibrahim : 1)

Perubahan kehidupan manusia dengan datangnya Al-Quran dan Nabi Muhammad ditandai dengan perubahan tiga hal pokok:
Pertama, perubahan dari priode zaman jahiliyah kepada zaman Islamiyah. Dimana di antara ciri zaman jahiliyah adalah kehidupan manusia yang terbelakang secara ilmu pengetahuan, perkembangan masyarakat yang lebih banyak terbelenggu dengan tradisi mistik dan didominasi oleh mitos, dongeng, khayalan atau apa yang sering diistilahkan dengan syirik, khurafat dan takhayyul. Sementara Al Quran datang menentang semua tradisi, khurafat dan takhayyul di tengah masyarakat seperti itu. Sebagaimana pada beberapa ayat dikatakan sebagai bentuk kecaman dan sindiran,
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. (Al Maidah : 104)

Pada ayat lain Al Quran menegaskan,
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Al Isrâ : 36)

Dengan diutusnya Rasulullah membawa Al Quranul Karim, berakhirlah zaman jahiliyah. Tidak ada ada lagi  sebutan zaman Jahiliyah. Namun demikian bukan berarti bahwa dengan berakhirnya zaman jahiliyah telah berakhir semua bentuk perbuatan jahiliyah. Karena meskipun zamannya telah berakhir tapi perbuatan-perbuatan jahiliyah terus berlangsung di tengah-tengah umat. Oleh sebab itu Ibnu Taimiyah mengatakan,
فَأَمَّ بَعْدَ مَبْعَثَ النَّبِيِّ فَقَدْ تَكُوْنُ فِيْ مِصْرٍ دوُنْ َمِصْرٍ , كَمَا هِيَ دَارُ الْكُفْرِ. وَقَدْ تَكُوْنُ فِي شَخْصٍ دُوْنَ شَخْصٍ كَالرَّجُلِ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ فَإِنََّهُ فِي جَاهِلِيََّةٍ وَإِنْ كَانَ فِي دَارِ اْلإِسْلاَمِ      (إقتضاء صراط المستقيم , ١: ٢٢٢)
Adapun setelah diutusnya nabi (Muhammad saw.) maka adakalanya (jâhiliyah) itu berada di satu negri tanpa negri yang lain, seperti keberadaan negri kafir. Dan adakalanya (jâhiliyah itu) ada pada satu pribadi tidak pada pribadi yang lain, seperti seseorang yang belum berislam, maka dia itu dalam jâhiliyah meskipun hidup di negri Islam

Pernyataan Ibnu Taimiyah ini sejalan dengan sabda Nabi sebagaimana tercatat dalam Shahih Muslim. Tirmidzi dan yang lainnya, beliau bersabda,
أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ
Ada empat perkara pada umatku dari urusan jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya; kebanggaan dengan kebangsawanan, mencela karena nasab, meminta hujan dengan memuja bintang, dan meratapi kematian (Hadits Muslim)

Dengan sabdanya ini Rasulullah mengingatkan kepada kita semua bahwa meskipun zaman jahiliyah telah berakhir akan tetapi prilaku-prilaku jahiliyah itu akan senantiasa ada di tengah-tengah umat manusia, bahkan di tengah-tengah masyarakat Islam itu sendiri. Di antara perbuatan jahiliyah itu sabda Rasulullah adalah berbangga dengan kebangsawanan, menghina manusia karena garis nasabnya, meminta hujan dengan cara nujum atau meramal bintang-bintang, dan meratapi kematian.
 Berkaitan dengan yang pertama, yaitu berbangga dengan trah kebangsawanan. Apa yang diperingatkan oleh Rasulullah itu sekarang masih tetap jadi kenyataan. Betapa masih banyak orang yang berbangga dan sombong dengan garis keturunan, kepangkatan dan jabatan. Padahal dalam Islam kepangkatan dan kedudukan adalah amanat yang harus dipertanggungjawabkan seorang Insan dihadapan Allah dan di hadapan manusia. Karena itulah Rasulullah mengingatkan kepada Abu Dzar, "Wahai Abu Dzar sesungguhnya jabatan itu adalah amanat, dan akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan kewajibannya".  (Shahih Riwayat Muslim)
 Islam tidaklah anti dan membenci kekuasaan bahkan kita diperintahkan mencari dan mendudukinya. Akan tetapi selama kekuasaan itu dimaksudkan untuk membela kebenaran dan mewujudkan ketakwaan. Al-Quran memerintahkan kepada Rasul dan kaum mukminin agar memohon kekuasaan dan kedudukan yang benar kepada Allah, karena dengan kekuasaan itulah dakwah kebenaran akan dilindungi dan nilai-nilai ketakwaan ditegakkan.

Dan Katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah Aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) Aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (Al Isrâ : 80)

Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al Furqân : 74)

Berkenaan dengan yang kedua, yaitu menghina manusia karena nasabnya. Memang secara terang-terangan sudah jarang kita dapati penghinaan manusia karena garis keturunan atau nasabnya. Namun secara substantif kita masih menyaksikan di zaman ini satu bangsa yang merasa lebih mulia dari bangsa yang lain karena  etnisnya, atu warna kulitnya atau karena bahasanya, atau karena kemajuan teknologinya sehingga memandang bangsa lain sebagai bangsa yang rendah yang boleh dijadikan kelinci percobaan atau dijadikan bangsa yang terjajah secara terselubung melalui dominasi ideologi, politik, penjajahan budaya, ekonomi dan sebagainya. Kita mengetahui dalam sejarah bagaimana ideologi rasialismenya Nazi-Hitler telah membawa Jerman kepada kebiadaban dalam pembantaian terhadap bangsa lain. Demikian pula keyakinan bangsa Yahudi sebagai bangsa pilihan dan mengklaim sebagai anak-anakTuhan telah menggiring mereka menjadi bangsa yang ekslusif dan menghalalkan segala cara dalam membodohi bangsa lain. Semua itu adalah manipestasi dari ideologi rasialime yang menganggap sukunya, bangsanya adalah bangsa terhormat di atas bangsa lainnya.
 Berkaitan dengan prilaku jahiliyah yang ketiga, yaitu meminta hujan dengan bintang-bintang. Baik itu maksudnya meminta hujan dengan menyembah bintang-bintang tersebut, atau meminta-minta pertolongan kepadanya, atau berkeyakinan bahwa hujan diturunkan bintang-bintang tersebut. Nampaknya sampai saat ini masih banyak orang yang mempercayai ramalan-ramalan nasib manusia berdasarkan perhitungan dan posisi bintang-bintang. Bahwa seseorang yang lahir tanggal sekian, bulan sekian nama bintangnya adalah ini dan itu, maka nasibnya, karirnya, jodohnya, rizkinya dan lain sebagainya akan begini dan bigitu. Ini semua adalah warisan tradisi jahiliyah.
 Adapun yang keempat adalah meratapi kematian. Dalam pandangan Islam seorang yang meninggal tidaklah membutuhkan dari orang hidup selain doa yang baik dan tulus ikhlas, wabil khusus dari anak-anaknya yang saleh. Kemuliaan dan terhormatnya seseorang manusia bukan ditunjukkan dengan banyak dan sedikitya yang meratapi ketika ia mati akan tetapi dilihat dari warisan kebaikan dan keteladanan amal saleh bagi generasi yang sesudahnya. 
 Semua yang tersebut di atas sedikit dari contoh prilaku jahiliyah yang disebutkan oleh Rasulullah yang ada pada umat ini. Tentu saja prilaku dan tradisi jahiliyah yang tidak tersebut lebih banyak lagi. Maksud dari dibawakannya hadits tersebut di sini hanyalah untuk menunjukkan bahwa meskipun zaman jahiliyah telah berakhir, akan tetapi perilaku-perilaku yang menjadi warisannya akan senantiasa ada di tengah umat manusia.

Kedua, dengan turunnya Al-Quran dan diutusnya Nabi Muhammad adalah menandai perubahan dari zaman yang berwawasan lokal ke zaman yang berwawasan global. Sebelum diutusnya Nabi Muhammad, para nabi dan rasul diutus hanya untuk kaumnya secara terbatas. Sedangkan Nabi Muhammad diutus untuk segenap umat manusia.
Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui. (Saba : 28)

Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al Anbiyaa: 107)

Dalam hadits Mutafaq Alaih diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, "Para Nabi diutus untuk kaumnya saja, sementara aku diutus kepada seluruh umat manusia".
Dalil-dalil di atas menunjukkan pengertian bahwa telah berakhirnya zaman lokal, zaman keterbatasan pergaulan manusia, sekarang cukuplah dengan seorang nabi dan satu kitab suci untuk seluruh zaman dan umat manusia. Maka alangkah naifnya jika dizaman sekarang ini masih ada yang mendakwakan lagi sebagai nabi dan menerima kitab suci yang baru di samping Al Quranul Karim. Sungguh ini adalah kedustaan yang sangat nyata.
Mengingat akan hal ini, maka dipundak kaum muslimin ada tanggungjawab mendakwahkan risalah islam untuk seluruh pelosok bumi sebagai konsekwensi risalah yang universal. Sebagaimana Allah telah tegaskan bahwa umat Nabi Muhammad diturunkan Allah dengan misi untuk menyeru seluruh umat dan bangsa agar menegakkan kebaikan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah, sebagaimana firman-Nya, "Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan ketengah manusia untuk menyeru kebaikan, mencegah kemunkaran dan agar beriman kepada Allah…. (Ali Imran : 110)
Umat Islam adalah umat yang diperintahkan terjun ke medan pergulatan dunia serta mempelopori globalisasi kebaikan dan kebenaran dengan membawa misi aqidah tauhid, membangun kemulian akhlak dan moral masyarakat manusia, bukan menjadi umat yang meminggirkan diri serta tidak perduli terhadap ancaman kehancuran peradaban manusia. Disinilah relevansinya dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah, bahwa orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar dari berbagai keburukannya lebih baik dari mukmin yang tidak mau bergaul dan tidak mau sabar atas gangguan manusia. Karena kebaikan seorang mukmin justru teruji manakala ia dihadapakan kepada berbagai keadaan yang tidak kondusif. Tentu saja pergaulan yang baik di sini pergaulan yang mampu memberi manfaat kebaikan kepada masyarakat sekitarnya, bukan pergaulan yang ia justru terbawa arus keburukan manusia di sekelilingnya.
Kesadaran sebagai umat yang membawa misi dakwah amar makruf nahi munkar ke tengah-tengah umat manusia itulah, generasi sahabat rasulullah sepeninggal rasulullah mereka  bertebaran di muka bumi menyebarkan rahmat islam ke seluruh bangsa. Sehingga lebih dari seratus ribu sahabat nabi hanya sedikit yang mereka menetap dan meninggal di Makah dan Madinah. Sebagian besar mereka berkelana di berbagai belahan bumi menetap dan hingga meninggalnya di medan dakwah.

Ketiga, dengan diutusnya nabi Muhammad dan diturunkannya Al Quran menandai perubahan peta politik dunia. Dunia yang sebelum islam datang didominasi oleh kekuatan-kekuatan perdaban berhalaisme, paganisme alias kemusyrikan, terutama kekuatan Imperium Rumawi yang Kristiani dan Imperium persia yang Majusi, kemudian digeser oleh kekuatan baru yang amat dahsyat, yaitu kekuatan Islam yang berasaskan ketauhidan. Maka dari abad ke delapan masehi hingga abad ke lima belas, kaum muslimin telah berhasil mencapai puncak kejayaan duniawi menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban yang menjadi kiblat bangsa-bangsa di Timur maupun di Barat, sebelum kemudian kaum muslimin tenggelam dalam kemunduran hingga menjadi bangsa-bangsa terjajah hingga berabad-abad lamanya akibat semakin menjauhnya dari ajran Islam yang sesungguhnya. Dan pada saat ini, kaum muslimin sedang berada pada fajar kebangkitannya yang kedua, berjuang keras melepaskan diri dari belenggu keterpurukan dalam berbagai aspek kehidupan.

Apa yang digambarkan di atas, mengingatkan kita bahwa dalam bulan Ramadhan yang agung, yang setiap tahun kita menyambut kedatangannya, memang terkandung peristiwa penting yang membawa misi dan pesan perubahan. Perubahan yang lahir dari semangat iman yang membara, perubahan total dalam segala aspek kehidupan kita, lahir dan batin. Maka alangkah pantasnya jika Ramadhan dijadikan sebagai bulan pelaksanaan ibadah puasa yang merupakan salah satu cara membangun semangat perubahan yang hakiki. Karena salah satu dari sunnatullah, Allah jadikan puasa sebagai salah satu wasilah terjadinya perubahan pada makhluknya. Perhatikanlah bagaimana Allah merubah penciptaan seekor ulat sutra yang tadinya hanya bisa merayap dengan pelan di batang pohon, banyak orang yang geli bahkan jijik memandangnya, kemudian menjadi seekor kupu-kupu yang indah warna-warni dan bisa terbang kesana-kemari dengan memukau setelah ia menjalani proses puasa total berminggu-minggu dengan menggantung diri di ranting pohon, hingga bagian luar tubuhnya mengering dan mengelupas menjadi kepompong, kemudian berubah wajud menjadi seekor kupu-kupu.
Ini hanyalah satu ibrah yang kecil tetapi sangat penting dalam memahami makna puasa sebagai sarana menuju perubahan. Lantas perubahan apakan yang  ingin diraih kaum muslimin dengan puasa? Tentu tidak berubah menjadi kupu-kupu atau menjadi malaikat yang bisa berterbangan. Tetapi perubahan kualitas hidup kita menjadi lebih baik, lebih indah, dan lebih mulia dari sebelumnya dengan cara meraih ketaqwaan yang merupakan tujuan utama dari puasa Ramadhan.
Dunia Islam saat ini memang sangat membutuhkan perubahan, setelah lebih dari setengah abad melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa-bangsa asing, nampaknya masih belum bisa melepaskan diri dari dimonasi dan hegemoni budaya para penjajah yang secara ideologi mereka adalah sekuler, secara ekonomi adalah kapitalis, dan secara budaya adalah liberal dan hedonistis.
Lantas perubahan apa yang kita harapakan dari pendidikan puasa Ramadhan? Yaitu perubahan mentalitas, sepirit dan semangat untuk hidup lebih dekat kepada Allah, merasa senantiasa diawasi, dibimbing dan sayangi sehingga melahirkan sikap dan perilku hidup yang jujur, amanah, dan  ikhlas seperti yang kita rasakan dalam menjalankan puasa. Karena dari perubahan mentalitas itulah perubahan suatu kaum, dan bangsa akan dimulai. Sesungguhnya Allah tidak  akan merubah keadaan suatu kaum melainkan kaum itu merubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri. (Al Ra'du : 11). Allah tidak merubah nikmat dan karunia menjadi adzab dan bencana melainkan mereka merubah keimanan dengan kekufuran dan merubah ketaatan dengan kemaksiyatan, demikian pula tidak akan berubah adzab dan bencana menjadi nikmat dan karunia melainkan mereka merubah jiwa mereka dari kufur kepada iman dan dari maksiyat kepada taat.
Terakhir dan tidak kalah pentingnya, bahwa Ramadhan tahun ini teristimewa dengan momentum perubahan kepemimpinan nasional. Kepemimpinan merupakan wasilah amat penting bagi perubahan masa depan suatu bangsa. Karena itu Islam telah menekankan pentingnya umat Islam mempunyai pemimpin yang berpihak kepada dakwah kebenaran. Sebab itu pula umat Islam diharamkan memilih pemimpin yang sekiranya membawa kemudharatan kepada agama, akidah dan akhlaq umat, meskipun mungkin saja menjanjikan kemakmuran dan kesejahteraan material. Kriteri memilih pemimpin bagi seorang muslim adalah mengutamakan masa depan dan keselamatan agama, sebab apa arti semua kemakmuran dan kesejahteraan materi jika merajalela kekufuran dan maksiyatan. Kesenangan dunia hanyalah sesaat yang tidak akan pernah dibawa mati, sedang kerusakan aqidah dan moral adalah melapeta abadi di dunia dan akhirat.
Spirit perubahan yang luar biasa pada bulan Ramadhan adalah modal dasar bagi umat Islam untuk memulai perubahan yang lebih besar lagi dalam kehidupan sebagai umat, di antaranya dengan mengagendakan perubahan kepemimpinan nasional yang pro dakwah, pro umat, pro kebenaran, pro kejujuran; anti sekuler dan liberal, anti korupsi, korupsi, dan pemurtadan. Karena pada akhirnya, setelah usaha manusiawi, kepemimpinan itu adalah taqdir Ilahi, maka sepatutnya kita tidak meninggalkan doa:

اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [آل عمران: 26]
Ya, Allah Pemilik segala kerajaan! Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, Engkau cabut kerajaan dari siapa yang engkau kehendaki; Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki (berikanlah kerajaan dan kekuasaan-Mu kepada orang yang membawa kemaslahatan bagi agama dan umat-Mu, jauhkanlah kerajaan-Mu dari orang yang akan merusak agama dan umat-Mu). Hanya di tangan-Mu segala kebaikan, sesunguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu”.


Oleh DR.H.Jeje Zaenudin Abu Himam, MA 

Written by : Your Name - Describe about you

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Etiam id libero non erat fermentum varius eget at elit. Suspendisse vel mattis diam. Ut sed dui in lectus hendrerit interdum nec ac neque. Praesent a metus eget augue lacinia accumsan ullamcorper sit amet tellus.

Join Me On: Facebook | Twitter | Google Plus :: Thank you for visiting ! ::

0 komentar:

Posting Komentar